Hustle Culture: Tren Toxic yang Digemari Anak Muda

Diplomacy Studies UPNVY
4 min readApr 29, 2022

Penulis : Okta Nurul Ilahi

Pernahkah Anda mendengar kata-kata seperti ini? “Semakin lama Anda bekerja, semakin dekat dengan kesuksesan” atau “orang yang hanya kerja 40 jam perminggu tidak akan bisa mengubah dunia”. Yap, kata-kata seperti ini sangat sering terdengar, berseliweran di media sosial dan eksis dikalangan anak muda. Orang yang mengabdikan hidupnya 24/7 untuk bekerja, dianggap hal yang baik, akan menjamin masa depan yang cerah, dekat dengan kesuksesan. Tapi, apakah benar demikian? Apakah dengan bekerja full 24/7 dapat meningkatkan produktivitas, menjamin kesuksesan di masa depan?
Dewasa ini, fenomena overwork, bekerja penuh 24 jam dalam 7 hari, menjadi tren dikalangan anak muda. Banyak kaum muda yang bangga akan pencapaian seperti lamanya waktu bekerja mereka. Kata-kata seperti “lo tau gak, gua sehari-hari itu tidur cuman 3 jam loo” atau melabeli orang-orang yang bekerja dengan jam kerja normal dengan sebutan “ihh, ga orientasi masa depan bangett dia” terdengar normal, bahkan menjadi budaya akhir-akhir ini. Fenomena tersebut lebih dikenal dengan sebutan “Hustle Culture”.
Hustle Culture artinya suatu cara hidup di mana seseorang merasa perlu untuk terus bekerja keras dan beristirahat sejenak sehingga mereka dapat menganggap dirinya sukses. Berapa orang menurut gaya hidup ini sebagai “workaholic”. Fenomena hustle culture pertama kali ditemukan pada tahun 1971 dan menyebar dengan cepat terutama di kalangan milenial. Fenomena ini membuat seseorang percaya bahwa suatu aspek terpenting dalam hidup adalah mencapai tujuan karir dengan bekerja keras terus menerus. (OCBC NISP 2021)
Alhasil, bekerja lembur hingga larut malam sering dijumpai, penganut hustle culture ini suka mengabaikan waktu istirahat dan menyepelekan jam tidur. Setiap menit yang dihabiskan untuk melakukan sesuatu yang tidak produktif adalah satu menit yang terbuang sia-sia. Tidak ada istirahat, tidak ada waktu luang, tidak ada liburan dan kurang tidur adalah hal-hal yang patut dibanggakan. Seseorang harus memenuhi tenggat waktu dan tujuan dengan kecepatan kilat untuk menyamai kecepatan dunia mereka.
Kenapa hustle culture ini diminati dan menjadi tren oleh anak-anak muda?
Hustle Culture ini diminati dan menjadi tren oleh Generasi Milenial bukan tanpa alasan. Glamorisasi yang terjadi di berbagai media membuat hustle culture terkesan hal yang normal. Banyak tokoh-tokoh internasional yang berpengaruh, para enterpreneur yang sukses

di usia muda, juga ikut serta berperan mempromosikan budaya overwork ini. Elon Musk misalnya, pemilik perusahan Tesla ini dalam cuitannya di twitter “orang yang hanya kerja 40 jam perminggu tidak akan bisa mengubah dunia”. Gagasan bahwa setiap orang bisa menjadi sesukses Steve Jobs, Mark Zuckerberg atau Elon Musk hanya jika mereka mau bekerja dengan giat, melampaui jam kerja normal, keluar dari zona nyaman.
Gambar 1. (Sumber : twitter.com/ Elon Musk)
Hustle Culture sering disebut sebagai bagian dari sistem kapitalis modern. Dimana profit merupakan orientasi utama dalam kehidupan. Para pemilik modal, akan sangat diuntungkan dengan budaya overwork ini. Dengan alasan itu, dengan pengaruhnya dan powernya, para pemilik modal akan berusaha untuk mempertahankan tren hustle culture tetap eksis agar mereka mendapatkan untung yang sebesar-besarnya.
Benarkah hustle culture meningkatkan produktivitas dan berorientasi pada kesuksesan?
Menjamurnya tren hustle culture di kalangan anak muda menimbulkan sebuah pertanyaan mendasar. Apakah benar hustle culture meningkatkan produktivitas, dan berorientasi pada kesuksesan? Nyatanya, hustle culture tidak sepenuhnya membawa kita menuju kesuksesan atau meningkatkan produktifitas. Jepang misalnya, negara yang telah lama terkenal dengan budaya kerja yang intens dan jam kerja yang ekstrim ini, merupakan tempat lahirnya istilah ”karoshi”- yang berarti “kematian karena terlalu banyak bekerja”. Pada tahun 2008, seorang pria berumur 45 tahun asal Jepang yang merupakan salah satu insinyur mobil top Toyota meninggal dunia karena terlalu banyak bekerja. Dalam dua bulan hingga kematiannya, pria itu rata-rata lembur lebih dari 80 jam per bulan. Tidak hanya di Jepang, berdasarkan data WHO/ILO, pada tahun 2016 terhitung 745.194 kematian di seluruh dunia disebabkan oleh jam kerja yang panjang. (NPR 2021)

Data-data diatas menunjukkan kepada kita bahwa sebenarnya budaya kerja 24/7 merupakan budaya yang tidak baik untuk ditiru, apalagi sampai dijadikan tren. Banyak dampak negatif yang timbul karena budaya gila kerja ini, seperti stres berlebihan, burnout yang berkepanjangan, tidak adanya keseimbangan dalam hidup dan lain sebagainya. Justru, negara dengan orang-orang paling produktif di dunia adalah negara dengan jam kerja yang pendek.
Gambar 2. 10 Negara Paling Produktif Jam Kerjanya (Sumber : economy.okezone.com)
Ada beberapa kebiasaan positif yang selalu dilakukan oleh orang-orang di negara produktif ini, seperti jam kerja yang lebih pendek, budaya work-life balance dan jadwal kerjanya yang lebih fleksibel. Yang semua kebiasaan ini merupakan kebalikan dari hustle culture yang tengah di agung-agungkan anak muda akhir-akhir ini.

Referensi
NPR. 2021. Overwork Killed More Than 745,000 People In A Year, WHO Study Finds.
Diakses pada 19 April 2022 dari
https://www.npr.org/2021/05/17/997462169/thousands-of-people-are-dying-from- working-long-hours-a-new-who-study-finds
OCBC NISP. 2021. Kenali Hustle Culture, Gila Kerja yang Berdampak Burul. Diakses pada 17 April 2022 dari https://www.ocbcnisp.com/en/article/2021/11/29/hustle-culture

Sign up to discover human stories that deepen your understanding of the world.

Free

Distraction-free reading. No ads.

Organize your knowledge with lists and highlights.

Tell your story. Find your audience.

Membership

Read member-only stories

Support writers you read most

Earn money for your writing

Listen to audio narrations

Read offline with the Medium app

Diplomacy Studies UPNVY
Diplomacy Studies UPNVY

Written by Diplomacy Studies UPNVY

Giving information and knowledge. L’art de la Negociation. Viva Diplomacy!

No responses yet

Write a response