Sindrom Galapos di Jepang
Penulis : Shafa Callista Chairunnisa
Salah satu ungkapan yang paling terkenal sepanjang Era Heisei (1989- 2019) hingga saat ini yang telah memasuki era Reiwa adalah “Sindrom Galapagos”, sebuah fenomena yang menjelaskan tentang produk dan juga perkembangan yang pada dasarnya dibuat untuk memenuhi kebutuhan domestik yang tidak menargetkan pasar lain. Ungkapan ini merupakan manifestasi dari teori evolusi Charles Darwin, seorang naturalis yang melakukan penelitian di Kepulauan Galapagos. Darwin mengungkapkan bahwa evolusi flora dan fauna di Galapagos terbilang cukup drastis dan unik dibanding di wilayah-wilayah lain karena Galapagos merupakan salah satu kepulauan yang sangat terisolasi, sebuah gugusan pulau yang terletak sekitar 1.000 kilometer barat pesisir Amerika Selatan dengan penduduk yang hanya berjumlah sekitar 15.000 jiwa.
Uniknya, fenomena sindrom galapagos ini terjadi di Jepang yang notabene merupakan negara dengan kecepatan modernisasi yang luar biasa. Di negeri Jepang sendiri, perkembangan teknologi dan budaya di Jepang belum berhasil menjadi lebih populer di pasar global yang dinamis. Celah tersebut dapat dianalisis dengan membandingkan keunikan teknologi asli Jepang yang kontras dengan perkembangan budayanya yang serupa dengan keunikan evolusi flora dan fauna di Kepulauan Galapagos. Geert Hofstede (1983) dalam kajiannya terkait dimensi-dimensi kultural menjelaskan bahwa tidak semua teknologi yang berkembang pesat di suatu wilayah dapat berkembang dengan baik di wilayah lain. Rogers dan Shoemaker (1971) juga mengungkapkan bahwa kultur nasional dan regional memiliki peranan dalam persebaran dan percampuran ide — ide dan inovasi, sehingga sindrom Galapagos ini dianggap menjadi sesuatu yang dapat menjelaskan keanehan fenomena-fenomena di Jepang.
Jepang merupakan sebuah negara kepulauan yang sangat mengagumkan dengan kultur kunonya yang kaya dan perkembangan teknologinya yang unik, sehingga kekayaan linguistik dan seninya yang diakui dunia. Namun, karena situasi geografisnya yang berbentuk kepualauan, kebudayaan-kebudayaan tersebut terisolasi dengan cukup paten, termasuk bidang modernisasi teknologinya. Padahal Jepang sendiri merupakan sebuah negara yang telah banyak memberikan kontribusi kepada dunia, yang mana mereka membanjiri seluruh dunia dengan produk — produk dan segala komoditas ekspornya sebanyak mungkin. Namun, anehnya Jepang justru menarik diri untuk menjadi bagian dari dinamika global itu sendiri, khususnya trend di dunia hiburan yang belum bisa sebesar K-Pop dan K-drama.
Fenomena sindrom galapagos ini terjadi di berbagai sektor kehidupan masyarakat Jepang. Salah satu contohnya dalam bidang teknologi adalah mesin ATM yang tidak menerima kartu kredit asing, penggunaan telepon genggam lipat di saat telepon pintar sudah bukan merupakan barang langka (Ke-tai), produksi diska musik yang masih berlanjut secara masif di saat penggunaan platform online dan unduhan digital lebih sering digunakan di negara lain, dan sebagainya. Di bidang kebudayaan dan dunia hiburan, Jepang sangat unggul dalam bidang animasi dan literatur, tetapi dapat dibilang pula bahwa Jepang masih tertinggal dengan negara — negara Asia Timur lainnya karena kurangnya inovasi dalam produksi dan distribusi musik dan juga industri perfilman.
REFERENSI
Akiike, Atsushi dan Shoatro Katsumata. (2018). “What Was the Galapagos Ke-tai?: The Case of Japanese Mobile Phones”. Annals of Business Administrative Science. Vo. 17. №5.
Hawkinson. Eric. “Japan’s Galapagos Syndrome and Educational Technology Development and Design”. The Journal of Scientific Social Studies. Vo. 1.
Nakamura, Takayasu. (2013). “Sociologization, Pedagogization, and Resociologization: Has the Post-war Japanese Sociology of Education Suffered from the Galapagos Syndrome?”. International Journal of Japanese Sociology. Vol. 22. №1.
Brasor, Philip dan Masako Tsubuku. “Defining the Heisei Era: A 12-part series from The Japan Times”. https://features.japantimes.co.jp/heisei-moments-part-3-introspection/. Diakses pada 10 Mei 2022.
Caron, Joseph. (2014). “Conservatives’ insular mindset doesn’t fit today’s global reality”. https://www.japantimes.co.jp/opinion/2014/03/17/commentary/japan-commentary/conservatives-insular-mindset-doesnt-fit-todays-global-reality/. Diakses pada 10 Mei 2022.
Hoffman, Michael. (2015). “Overseas observers spot something strange”. https://www.japantimes.co.jp/news/2015/04/11/national/media-national/overseas-observers-spot-something-strange/. Diakses pada 9 Mei 2022.