NASIB PEREMPUAN AFGHAN DI BAWAH PEMERINTAHAN TALIBAN
Oleh : Ryan R
Taliban muncul pada awal dekade 1990-an di Pakistan Utara setelah mundurnya pasukan Uni Soviet dari Afghanistan. Mundurnya pasukan Uni Soviet dari Afghanistan memberi celah bagi Taliban untuk memperluas kekuasaannya. Sehingga pada September 1995, Taliban berhasil menguasai provinsi Herat dan dalam 1 tahun mereka berhasil menguasai Ibu Kota Afghanistan, Kabul. Pada tahun 1998, Taliban sudah berhasil menguasai 90% wilayah Afghanistan.
Rezim pemerintahan pertama Taliban ini memperkenalkan interpretasi ketat terhadap hukum sharia atau hukum Islam seperti eksekusi publik pada pembunuh dan pezina, dan amputasi terhadap pencuri. Selain itu, Taliban juga melarang televisi, musik, dan cinema serta pelarangan bagi perempuan diatas umur 10 tahun dan lebih untuk pergi ke sekolah. Pada saat itu, perempuan-perempuan di Afghanistan dilarang untuk keluar dari rumah mereka untuk beraktivitas apapun dan hanya diperbolehkan keluar dengan pengawal laki-laki dari keluarganya. Akan tetapi, rezim pertama Taliban ini berakhir pada tahun 2001 dengan adanya invasi dari koalisi militer AS.
Pemerintahan Afghanistan yang kembali terbentuk dengan bantuan Barat ini, memberikan kebebasan bagi perempuan Afghanistan setelah 5 tahun berada di bawah rezim pertama Taliban. Perempuan-perempuan Afghanistan mendapatkan hak-haknya yang hilang seperti bersekolah dan melakukan aktivitas di publik. Peraturan-peraturan demi menjunjung hak dan perlindungan bagi wanita juga mulai dibuat dengan bantuan aktivis-aktivis perempuan baik dari dalam maupun luar Afghanistan.
Akan tetepi, usaha-usaha ini hancur kembali dengan pengumuman Presiden AS, Joe Biden, untuk menarik semua pasukannya yang ada di Afghanistan. Pada tanggal 6 Agustus, Taliban berhasil menguasai provinsi pertamanya. Kemudian, pada 15 Agustus, Taliban berhasil menguasai Ibu Kota Afghanistan untuk kedua kalinya. Dengan ini, dimulainya rezim pemerintahan kedua Taliban.
Disaat Taliban berhasil memegang kekuasaan kembali, mereka berjanji untuk menghormati perempuan dan menghormati mereka untuk berpartisipasi di publik “sesuai dengan hukum Islam”. Akan tetapi, janji-janji Taliban tersebut hanyalah sebuah janji. Perempuan masih dilarang untuk menghadiri sekolah menengah, dan banyak perempuan yang dilarang untuk kembali bekerja. Padahal, sekolah-sekolah dan tempat kerja sudah dibuka untuk para laki-laki. Perlakuan tidak adil ini menimbulkan banyak ketidakpuasan terhadap pemerintahan Taliban terutama bagi para perempuan itu sendiri.
Para perempuan Afghanistan terutama yang terdidik dan berada di kota terlihat tidak menerima perlakuan Taliban. Kelompok-kelompok perempuan di Kabul, Herat, dan kota-kota lainnya bermunculan dan melakukan demonstrasi kepada pemerintahan Taliban, meminta hak-hak mereka untuk dikembalikan dan membuka kembali sekolah-sekolah dibuka kembali untuk perempuan. Akan tetapi, tindakan demonstrasi ini dibalas dengan kekerasan, gas air mata, dan tembakan peringatan, serta memukuli perempuan dan wartawan yang meliput demonstrasi tersebut.
Tidak hanya itu, banyak ketidakadilan yang dilakukan Taliban kepada perempuan Afghanistan. Seperti kepada para ratusan hakim-hakim perempuan di Afghan yang harus tetap berada di dalam rumah. Mereka tidak dapat menghasilkan uang dan menyebabkan penurunan ekonomi keluarga mereka. Selain itu, para hakim-hakim ini harus bersembunyi dikarenakan tindakan yang dilakukan oleh pemerintah Taliban dengan membebaskan para tahanan penjara. Para tahanan ini berpotensi untuk melakukan teror terhadap hakim-hakim yang memasukkan mereka ke penjara. Pemerintahan Taliban juga menutup Kementerian Perempuan yang berfokus kepada pemberdayaan perempuan. Kabinet pemerintahan Taliban juga tidak memiliki satupun perempuan di dalamnya dikarenakan interpretasi hukum sharia mereka.
Dengan naiknya Taliban sebagai pemerintahan Afghanistan kedua kalinya telah memberikan perubahan yang drastis kepada kualitas hidup perempuan di negara tersebut. Hak-hak perempuan untuk belajar, bekerja, melakukan aktivitas di ruang publik dalam sekejap menghilang dibawah kekuasan Taliban. Kondisi ini sangat menyiksa bagi para perempuan ditambah dengan ancaman dan tindakan kekerasan yang dapat menimpa mereka. PBB dan negara-negara lainnya haruslah mulai bergerak untuk menyelesaikan isu hak asasi perempuan ini sebelum kondisi yang ada semakin memburuk.
Referensi:
Heather Barr. 2021. “When Foreign Men Talk to the Taliban About Women’s Rights”. https://www.hrw.org/news/2021/10/18/when-foreign-men-talk-taliban-about-womens-rights, diakses pada 22 Oktober 2021.
Ali M Latifi, Mujtaba Haris. 2021. “Afghanistan’s Female Judges Forced into Hiding under Taliban Rule”. https://www.aljazeera.com/news/2021/10/18/afghanistan-female-judges-hiding-taliban-takeover, diakses 22 Oktober 2021.
Fazelminallah Qazizai. 2021. “Afghan Women Resist the Return of Taliban’s Segregation”. https://www.ft.com/content/d320c92f-c7a4-4277-8d6c-0c998a36b411, diakses 22 Oktober 2021.
Ayaz Gul. 2021. “Turkey Presses Taliban for Female Education and Inclusive Afghan Government”. https://www.voanews.com/a/turkey-presses-taliban-for-female-education-and-inclusive-afghan-government-/6271176.html, diakses 22 Oktober 2021.
Agnieszka Pikulicka-Wilczewska. 2021. “Afghan women’s losing battle to remain visible under Taliban”. https://www.aljazeera.com/features/2021/10/6/how-one-afghan-woman-became-invisible-under-taliban-rule, diakses pada 22 Oktober 2021.
Alissa J Rubin. 2021. “Taliban Complete Interim Government, Still Without Women”. https://www.nytimes.com/2021/09/21/world/asia/taliban-women-government.html, diakses pada 22 Oktober 2021.
BBC. 2021. “Who are the Taliban?”. https://www.bbc.com/news/world-south-asia-11451718, diakses pada 22 Oktober 2021.