MENINGKATNYA FENOMENA SHOUSHIKA JEPANG DI TENGAH PANDEMI COVID-19
Oleh: Laurensia Sonia Nugroho
Dalam beberapa dekade terakhir, Jepang dihadapi pada masalah yang berhubungan dengan kondisi demografi. Hal tersebut disebabkan karena terus terjadinya penurunan jumlah kelahiran dan pesatnya pertumbuhan populasi lansia. Akibatnya, struktur demografi Jepang menunjukkan kondisi masyarakat menua atau Koreika Shakai.
Shoushika dalam White Paper yang dikeluarkan oleh pemerintah Jepang yang berjudul Shoushi Shakai No Tourai, Sono Eikyou To Taisaku adalah istilah yang digunakan dalam menggambarkan penurunan jumlah kelahiran di Jepang. Shoushika merupakan sebuah fenomena masalah besar yang dihadapi oleh masyarakat Jepang saat ini. Permasalahan Shoushika menjadi trend semenjak bertambahnya wanita bekerja yang menunda memiliki anak yang mengakibatkan menurunnya pertumbuhan bayi di Jepang. Bagi wanita di Jepang sekarang ini, bekerja merupakan fokus utama dalam hidup. Dengan bekerja memungkinkan seorang wanita untuk mengekspresikan sesuatu yang mendatangkan kebanggan terhadap diri sendiri, terutama jika prestasinya mendapatkan penghargaan dan umpan balik yang positif. Hingga saat ini jumlah kelahiran di Jepang terus mengalami penurunan, meskipun pada tahun 2010 Total Fertility Rate (TFR) Jepang sempat mengalami kenaikan, namun jumlahnya tidak menunjukkan angka yang signifikan, dan masih berada di bawah jumlah kelahiran ideal dalam suatu negara.
Timbulnya masalah krisis demografi yang terjadi di negara maju seperti Jepang juga dipengaruhi oleh berbagai faktor penyebab, satu diantaranya adalah karena kebijakan pemerintah Jepang itu sendiri yang lebih mengutamakan bidang perekonomian hingga kemudian membuat konstruksi sosial terhadap rakyatnya terutama bagi para wanita untuk lebih dapat mengutamakan karir dibandingkan dengan memiliki anak. Pengaruh yang ditimbulkan oleh semakin berkembangnya Shoushika tidak hanya dirasakan dalam aspek kependudukan, tetapi juga mempengaruhi aspek ekonomi, pendidikan, sosial, dan berbagai aspek kehidupan masyarakat Jepang lainnya. Oleh karena itu, fenomena Shoushika yang ada dalam masyarakat Jepang sekarang ini, merupakan ancaman bagi keberlangsungan hidup serta keberadaan bangsa Jepang di masa depan. Semakin menurunnya jumlah kelahiran dan jumlah populasi anak-anak di Jepang, akan menjadikan bangsa Jepang sebagai suatu masyarakat yang terdiri dari generasi yang semakin menua.
Dampak dari Shoushika ini juga telah menjadikan Jepang kekurangan tenaga pekerja akibat dari minimnya usia produktif masyarakat Jepang itu sendiri. Hal ini mendorong Jepang untuk mencari tenaga kerja dari luar negeri. Sebagai jalan keluar untuk mengatasi kebutuhan tenaga kerja dalam negeri yang berkurang, pemerintah Jepang akhirnya mempermudah visa untuk para pekerja asing, namun sebagian masyarakat yang masih konservatif mengkhawatirkan kehidupan sosial masyarakat Jepang. Harapan sebelumnya dari kebijakan ini adalah agar banyak pekerja asing yang dapat mengisi kekosongan posisi di sektor pekerjaan di Jepang. Dampak krisis demografi yang dirasakan langsung oleh pemerintah Jepang juga dirasakan dalam bidang ekonomi. Sehingga kebijakan mengenai krisis demografi Jepang dibuat berorientasi pada kepentingan ekonomi. Dengan jumlah penduduk usia produktif yang semakin sedikit, sementara Jepang sebagai negara kapitalis yang mendapat peringkat sebagai negara dengan perekonomian ke-3 di dunia tentunya membutuhkan tenaga kerja untuk menggerakkan roda perekonomiannya. Fenomena ini dinilai juga memiliki implikasi terhadap keamanan nontradisional di negara Jepang, akibat dari penurunan usia produktif tersebut yang berimplikasi terhadap banyaknya imigran asing yang mendatangi wilayah Jepang hingga kemudian menjadi ancaman tersendiri bagi kebudayaan, sosial, dan demografis. Adapun pemerintah Jepang hingga saat ini masih terus mengupayakan solusi dan penanganan dari dampak yang ditimbulkan oleh fenomena Shoushika ini.
Perdana Menteri Shinzo Abe pada masa kepemimpinannya telah mengatasi krisis ini dengan mengambil langkah-langkah untuk mendukung pasangan muda dalam membesarkan anak, misalnya dengan menggratiskan pendidikan prasekolah. Pemerintah Jepang juga telah menetapkan target untuk meningkatkan angka kelahiran kembali menjadi 1,8% pada tahun 2025. Harapan tersebut kemungkinan tidak akan tercapai dengan waktu sesingkat itu, mengingat angka kelahiran hanya 1,43% pada tahun 2017.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa fenomena Shoushika atau krisis demografi di Jepang adalah ancaman bagi keberlangsungan hidup masyarakat jepang dimasa yang akan datang. Banyaknya faktor pemicu yang cenderung menitikberatkan pada sikap masyarakat Jepang yang telah terkonstruksi dari kebijakan pemerintah Jepang itu sendiri melalui kebijakan Womenomicsnya hingga membentuk pemikiran masyarakat Jepang untuk lebih mengutamakan karir dibandingkan dengan berkeluarga apalagi memiliki anak.
REFERENSI
Artikel dan Jurnal Ilmiah
Karo, Mayang Terapulina Br, dkk. 2021. “Fenomena Shoushika: Analisis Kebijakan Pemerintah Jepang Pada Era Kepemimpinan Shinzo Abe”. Jurnal Transborders Vol. 4 №2.
Website
Kyodo. 2021. “Japan’s population drops by record number to 126.65 million amid pandemic”. The Japan Times. https://www.japantimes.co.jp/news/2021/08/05/national/pandemic-population-drop/ diakses pada 2 September 2021.
Shimbun, Yomiuri. 2021. “Tokyo’s population growth slows amid pandemic”. The Japan News. https://the-japan-news.com/news/article/0007648966 diakses pada 2 September 2021.
The Japan Times. 2021. “Japan’s child population hits record low after 40 years of decline” https://www.japantimes.co.jp/news/2021/05/04/national/child-population-decline/ diakses pada 2 September 2021.