KRISIS HUBUNGAN DIPLOMATIK RUSIA DAN AMERIKA SERIKAT MENCAPAI KULMINASI
Meilisa Jibrani
Ilmu Hubungan Internasional 2020
Dinamika perseteruan antara Amerika Serikat dan Rusia telah terjadi sejak pada masa perang dingin dimana saat itu dunia terbagi menjadi dua kubu: Blok Timur dan Barat. Rusia yang pada masa itu masih masuk ke dalam Uni Soviet mendominasi Blok Timur sementara Amerika Serikat mendominasi Blok Barat. Perang ideologi yang mendasari terbentuknya blok diwarnai dengan persaingan baik dibidang teknologi, seperti senjata nuklir, maupun ekonomi. Saat akhirnya Uni Soviet pecah dan menyisakan Rusia sebagai satu-satunya negara tandingan Amerika dalam senjata nuklir, konflik antara keduanya pun masih terus berlanjut. Akhirnya, pada masa pemerintahan Presiden Obama Rusia memiliki kepentingan bersama Amerika dalam menekan Iran atas program nuklirnya. Meskipun demikian, konflik kembali muncul ketika ada temuan bahwa pada tahun 2016 Diplomat Rusia memiliki keterlibatan yang cukup besar dalam pemilu AS. Atas pemaparan tersebut, dapat disimpulkan bahwa hubungan diplomatik antara Rusia dan Amerika Serikat cenderung mengalami pasang surut.
Diplomatik Kedua Negara Pada Masa Biden
Kongres Amerika Serikat yang diselenggarakan pada 6 Januari 2021 menjadikan Joe Biden resmi menjadi Presiden Amerika ke-46, menggantikan Donald Trump. Bergantinya tampuk kepemimpinan tentu mempengaruhi kebijakan luar negeri yang diambil AS terhadap Rusia. Apakah Biden meneruskan langkah Trump dalam politik luar negerinya dengan Rusia?
Pada masa Donald Trump, keadaan kedua negara menunjukkan perkembangan yang positif. Hal tersebut dibuktikan dengan diangkatnya Rex Tillerson (rekan bisnis Trump yang memiliki kedekatan dengan Rusia) sebagai Menteri Luar Negeri AS. Namun keadaan berbalik seratus delapan puluh derajat ketika Joe Biden memimpin. Dapat dikatakan, krisis diplomatik antara kedua negara ini mencapai titik puncak.
Konflik terbuka mulai muncul dalam masa awal pemerintahan Joe Biden. Hal ini dibuktikan dengan pernyataan terbuka Biden yang menuding Vladimir Putin sebagai “pembunuh”. Selain itu Biden juga mengecam secara terang-terangan pihak Rusia dalam pidatonya Bulan Februari lalu. Biden menilai Rusia agresif, mengintervensi pemilu AS, melakukan serangan dunia maya besar-besaran, dan telah meracuni Alexei Navalny, warga Rusia yang berada di pihak opisisi.
Sikap keras Biden yang sedemikian keras terhadap Rusia hingga menuduh Putin secara terang-terangan sebagai “pembunuh” dipicu oleh beberapa hal. Salah satunya karena adanya temuan badan intelijen AS mengenai campur tangan Rusia dalam pemilu Amerika 2020. Laporan tersebut diluncurkan oleh Kantor Direktur Intelijen Nasional AS pada Selasa waktu setempat. Laporan setebal 15 halaman itu memaparkan adanya “operasi tebar pengaruh” yang disokong Rusia dan Iran.
Menurut dokumen tersebut, sejumlah individu yang dikaitkan dengan Rusia telah menyebarkan klaim-klaim tidak berdasar mengenai Presiden Biden menjelang Pemilu 3 November lalu. Disebutkan pula bahwa kampanye disinformasi tersebut berupaya untuk meruntuhkan kepercayaan atas proses pemilu. Beberapa pihak yang dikaitkan dengan intelijen Rusia juga mendorong narasi-narasi anti-Biden ke media-media massa, kalangan pejabat senior, dan para sekutu Trump.
Laporan itu juga menambahkan bahwa, saat Rusia berupaya menyokong peluang Trump untuk menang, Iran malah melancarkan “kampanye pengaruh terselubung” dalam upaya memperlemah dukungan kepadanya.
Tak lama setelah kecaman terbuka dari Biden, Rusia menarik Anatoly Antonov, Duta Besar Rusia untuk AS dengan alasan “jalan buntu” hubungan diplomatik keduanya. Putin juga memberi olok-olok pedas sebagai tanggapan kecaman terbuka yang dilakukan Biden. Dalam salah satu stasiun TV Nasional Rusia, ia mengatakan bahwa Rusia selalu melihat pada orang lain kualitas diri sendiri dan berpikir bahwa dia sama dengan kami. Ia juga menambahkan bahwa siapa yang menuduh sebenarnya adalah yang melakukan. Menurutnya, tuduhan AS atas intervensi Rusia dalam pilpresnya tidak dilandasi bukti yang kuat. Putin juga menuduh AS melakukan genosida dalam melawan penduduk asli Amerika, dan membinasakan warga sipil dalam Perang Dunia II, dengan menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki. Hal tersebut membuat ketegangan antara dua negara ini semakin meluas.
Jalan Tengah Bagi Kedua Pihak
Terobosan baru dalam mengambil jalan tengah antara keduanya telah dicetuskan. Rusia dengan sekutunya China mencetuskan adanya KTT atau pertemuan puncak Dewan Keamanan Tetap PBB mengingat tidak stabilnya kondisi geopolitik negara Barat dan Timur. KTT tersebut rencananya dilaksanakan pada tanggal 16 Juni 2021.
Apakah KTT yang akan berlangsung di Jenewa tersebut merupakan jalan keluar atas ketegangan kedua negara? Jawabannya sukar ditentukan mengingat konflik keduanya telah bermula sejak perang dingin. Terlebih, Joe Biden telah secara terbuka menuduh Rusia telah mengintervensi Pilpres AS 2020 dan memberikan sokongan terhadap pendukung Trump. Hal ini cukup masuk akal mengingat Diplomatik Rusia dan AS sempat membaik saat Trump menjabat. Namun disisi lain, Rusia akan menuntut AS atas tewasnya 6 orang pedemo termasuk 1 wanita pada kerusuhan Capitol Hill 6 Januari lalu sebagai salah satu pelanggaran HAM. Adanya saling serang kedua belah ini seakan bagai lingkaran setan dan walaupun telah diadakan KTT, tidak menutup kemungkinan ketegangan akan kembali terjadi dikemudian hari.
Referensi
Indonesia, V. (2021, Maret 19). Ketegangan Meningkat dalam Hubungan AS-Rusia. Diambil kembali dari VOA Indonesia: https://www.voaindonesia.com/a/ketegangan-meningkat-dalam-hubungan-as-rusia/5820649.html
Iswara, A. J. (2021). Jelang KTT Pertama Putin dan Biden, Ini Agenda Mereka. Moskwa: Kompas.com.
News, B. (2021, Maret 19). Konflik AS dan Rusia makin panas: Putin tantang Biden debat langsung — “Siapa yang menuduh, sebenarnya dia pelakunya,”. Diambil kembali dari BBC News Indonesia: https://www.bbc.com/indonesia/dunia-56424843