Korean Wave (Hallyu) sebagai Instrumen Diplomasi Budaya Korea Selatan
Penulis : Delfia Putri Yanda
Seiring berkembangnya peradaban manusia termasuk kemajuan teknologi, fenomena globalisasi pun tidak dapat dihindari. Hubungan antar negara yang mulanya terbatas kini dapat dilakukan secara luas, intensif dan didukung oleh kecanggihan media yang ada, baik dari bidang politik, ekonomi, sosial, maupun budaya, dapat terhubung dengan mudahnya. Praktik untuk menjalin hubungan antar negara ini disebut sebagai diplomasi.
Sebagai salah satu komponen krusial dalam tercapainya kepentingan nasional suatu negara, diplomasi dapat dianalogikan sebagai mesin atau alat penggerak yang dapat menghubungkan dan mengkomunikasikan negara-negara secara global. Pendekatan diplomasi pada mulanya terkesan begitu eksklusif, yang kemudian berubah perlahan menjadi lebih terbuka lagi. Aktor yang terlibat pun tidak hanya pemerintah saja, tetapi juga mengikutsertakan aktor lain dengan instrumen dan cara penyampaian yang kian beragam pula. Diplomasi yang lebih terbuka terhadap publik mancanegara ini kemudian dikenal dengan diplomasi publik. Salah satu bentuk diplomasi publik adalah melalui diplomasi budaya.
Apa itu Korean Wave dan mengapa K-Wave dapat digunakan sebagai instrumen diplomasi budaya?
Korean Wave atau juga dikenal dengan istilah Hallyu merupakan fenomena meledaknya popularitas produk budaya populer Korea Selatan ke berbagai penjuru dunia. Istilah Korean Wave pertama kali diungkapkan pada pertengahan tahun 1990-an oleh seorang jurnalis China dengan menyebutnya sebagai Hanliu dalam bahasa Mandarin. Sementara di Korea Selatan sendiri istilah tersebut lebih dikenal dengan sebutan Hallyu.
Film dan serial drama Korea Selatan yang lebih dikenal dengan sebutan drakor, merupakan bentuk Korean Wave pertama yang diterima oleh masyarakat Asia di awal tahun 2000-an. Kemudian setelah itu, hadir ekspansi musik pop yang dikenal dengan K-Pop. Sejarah K-Pop dimulai dengan hadirnya sebuah grup band musik beranggotakan tiga orang bernama Seo Taiji and Boys. Terinspirasi dari situ, grup bernama HOT (High Five of Teenagers) kemudian dibentuk lalu disusul dengan kehadiran SES (Sea, Eugene dan Shoo) dari agensi musik SM Entertaiment bentukan seorang mantan penyayi folk dan rock, Lee Soo Man. Baru setelahnya pada awal tahun 2000-an, popularitas K-Pop semakin didobrak oleh BOA, TVXQ, BIGBANG, 2NE1, Super Junior, Girls’ Generation, dan masih banyak lagi hingga yang paling terpopuler sekarang, di tahun 2022, yaitu BTS dan Blackpink.
Menjalarnya K-Wave di berbagai belahan dunia ini membuat citra Korea Selatan semakin meningkat. Imbasnya, publik internasional menjadi tertarik dengan hal-hal berbau Korea mulai dari budaya, sejarah, makanan dan produk-produk Korea Selatan lainnya. Hal ini merupakan kesempatan emas bagi Korea Selatan untuk menjadikan K-Wave sebagai instrumen diplomasi budayanya ke seluruh dunia.
Lalu, apa itu Diplomasi Budaya?
Menurut Warsito dan Kartikasari (2007), Diplomasi kebudayaan adalah usaha memperjuangkan kepentingan nasional suatu negara melalui kebudayaan, seperti olahraga, dan kesenian, atau propaganda dan lain-lain, yang dalam pengertian konvensional dapat dianggap sebagai bukan politik, ekonomi, ataupun militer.
Diplomasi budaya merupakan bagian penting dari diplomasi publik dan dapat menjadi alat yang efektif untuk diplomasi. Ada berbagai berbagai macam aspek kebudayaan, seperti: seni, adat istiadat, tradisi, kehidupan masyarakat, sejarah, musik, gaya hidup, gerak tubuh, bahasa, sastra, dongeng atau cerita rakyat dan hubungan sosial dalam arti luas. Kebudayaan merupakan salah satu hal mendasar yang membangun peradaban. Dengan budaya, ide, gagasan, atau pemikiran manusia dapat dipengaruhi. Oleh karena itu, budaya kemudian digunakan sebagai instrumen diplomasi karena dengan dipengaruhinya suatu pemikiran, maka kepentingan nasional juga akan dengan mudah dikedepankan.
Lantas, apa tujuan digunakannya K-Wave sebagai instrumen diplomasi budaya Korea Selatan?
Hallyu, yang diimplementasikan sebagai alat diplomasi budaya, telah memberikan dampak positif bagi perekonomian Korea Selatan. Sejak boomingnya fenomena Korean Wave ini, bidang perekonomian Korea Selatan menunjukkan peningkatan yang signifikan. Menurut data Kementerian Kebudayaan, Olahraga, dan Pariwisata Korea Selatan ekspor dari sektor kebudayaan pada tahun 2020 mencapai 11,9 miliar dolar AS (sekitar Rp 170 triliun) dibandingkan dengan 10,25 miliar dolar AS (sekitar Rp 147 triliun) pada tahun sebelumnya. Dampak ekonomi tersebut juga didukung oleh pertumbuhan pariwisata Korea Selatan yang luar biasa. Penyebabnya tidak lain adalah dari dilaksanakan diplomasi publik melalui diplomasi budaya. Dalam Best in Travel untuk tahun 2018 menurut Lonely Planet, Korea Selatan menempati urutan ke-2 sebagai negara yang patut dikunjungi.
Selain perekonomian, tujuan lain dari digunakannya Hallyu sebagai media diplomasi Korea Selatan adalah untuk membangun citra nasional atau biasa dikenal dengan istilah state branding. Citra nasional mengacu pada representasi posisi positif atau negatif suatu negara di media, dalam konteks sejarah, politik, ekonomi, militer, diplomatik dan agama. Melalui K-Wave sebagai perantaranya, pemerintah Korea Selatan berusaha membangun citra negaranya untuk meningkatkan reputasi mereka di mata publik internasional. Dengan terbentuknya state branding yang baik, diharapkan itu dapat membantu meningkatkan hubungan sosial-budaya maupun hubungan politik dan ekonomi Korea Selatan dengan negara-negara lain di berbagai bidang. Sebab, apabila citra nasional terkenal dengan reputasi yang positif, maka kerja sama di bidang lain pun akan terdorong untuk semakin dalam.
Kunci persahabatan antar bangsa adalah dengan mengenal dan memahami kepribadian dan budaya dari masing-masing negara. Pengaruh budaya terhadap pelaksanaan diplomasi sangatlah besar, karena budaya bersifat universal dan komunikatif. Dengan pengaruh dan peran penting yang nyata dari Korean Wave dalam memperkenalkan budaya Korea Selatan ke masyarakat global, kini negeri ginseng tersebut dapat memiliki hubungan yang baik dengan banyak negara dan menjadi salah satu negara maju di dunia.
Referensi
Azkiya, B. (2022, March 15). Apa itu Diplomasi Publik? (V. Putri, Ed.). KOMPAS.Com; Kompas.com. https://www.kompas.com/skola/read/2022/03/15/140000869/apa-itu-diplomasi-publik-
Boyband Korea Generasi Pertama yang Harus Kamu Tahu. (2021, May 10). Kumparan; kumparan. https://kumparan.com/seleb-update/boyband-korea-generasi-pertama-yang-harus-kamu-tahu-1viNwOjA12J/full
Hernandi, F. (2021, October 21). South Korea’s Soft Power Strategy in Running Diplomacy (Strategi Soft Power Korea Selatan dalam Menjalankan Diplomasi). ResearchGate. https://www.researchgate.net/publication/355468037_South_Korea’s_Soft_Power_Strategy_in_Running_Diplomacy_Strategi_Soft_Power_Korea_Selatan_dalam_Menjalankan_Diplomasi
Maharani, E. (2022, January 25). Ekspor Industri Konten Korea Selatan Capai Rp 170 Triliun. Republika Online; Republika Online. https://www.republika.co.id/berita/r69ghl335/ekspor-industri-konten-korea-selatan-capai-rp-170-triliun
Planet, L. (2017, October 23). Best in Travel 2018: top 10 countries. Lonely Planet; Lonely Planet. https://www.lonelyplanet.com/articles/best-in-travel-2018-top-10-countries
Tulus Warsito; Wahyuni Kartikasari, 1970-. (2007). Diplomasi kebudayaan : konsep dan relevansi bagi negara berkembang : studi kasus Indonesia / Tulus Warsito dan Wahyuni Kartikasari. Yogyakarta :Ombak.