KEBIJAKAN SWORD TIONGKOK

Diplomacy Studies UPNVY
3 min readAug 20, 2021

Kartika Nathania Ariesta

Sampah adalah sebuah masalah penting pada kehidupan manusia, terlebih lagi seperti saat era revolusi industri, negara-negara di seluruh dunia telah meningkatkan kegiatan industri dan dari kegiatan industri tersebut akan menghasilkan sampah yang berupa sampah sisa-sisa industri. Di beberapa negara maju misalnya Amerika Serikat (AS), Australia dan beberapa negara di kawasan Eropa memiliki teknologi dan banyak cara untuk menanggulangi permasalahan sampah domestiknya. Selain mengolah dan membakar sampah, tetapi hal tersebut tidak cukup untuk benar-benar menghilangkan sampah yang telah diproduksi. Maka dari itu negara maju juga melakukan penjualan atau ekspor sampah ke beberapa negara berkembang yang dapat mengolah sampah-sampah tersebut menjadi suatu produk yang dapat digunakan kembali.

Negara Tiongkok telah mengimpor limbah padat seperti plastik, kertas, dan logam sejak tahun 1988 hingga 2016. Tiongkok menampung sekitar 45,1 persen sampah dunia untuk dijadikan sebagai aspek pendukung pertumbuhan perindustriannya. Tiongkok juga telah melakukan pengembangan industri daur ulang limbah, akan tetapi karena kurangnya manajemen pengolahan sampah dan kurangnya pengawasan yang efektif berdampak terhadap pencemaran lingkungan dan menjadikan Tiongkok sebagai negara dengan pencemaran lingkungan terbesar di dunia. Namun pada tahun 2018, Tiongkok telah menerapkan kebijakan pembatasan secara ketat mengenai impor sampah plastik, yang dikenal dengan kebijakan “National Sword”. Kebijakan tersebut telah berlaku semenjak Januari tahun 2018, kebijakan ini terkait larangan impor sebagian besar jenis plastik dan bahan-bahan lain ke Tiongkok, yang merupakan perindustrian limbah daur ulang terbesar di dunia selama seperempat abad terakhir. Pemberlakuan kebijakan ini merupakan upaya pemerintah Tiongkok untuk mengurangi bahkan menghentikan ledakan material limbah yang berpotensi mencemari lingkungan dan sebagai upaya dalam menangani masalah lingkungan negaranya, bahkan Tiongkok bertujuan untuk mengurangi pencemaran lingkungan berskala global. Pada tahun yang sama, impor plastik Tiongkok telah turun mencapai 99 persen, dan mempengaruhi pola pengolahan sampah global secara besar-besaran. Walaupun kapasitas sampah impor plastik mengalami penurunan hal ini berbeda dengan limbah berbahan aluminium dan kaca daur ulang tidak terlalu terpengaruh oleh kebijakan National Sword Tiongkok. Secara global sampah berbahan plastik kini berakhir di tempat pembuangan sampah, tempat pembakaran, dan menjadi limbah yang dapat mengotori lingkungan. Sebagaimana yang terjadi di beberapa negara di antaranya di Inggris, lebih dari setengah juta ton plastik dan sampah rumah tangga lainnya dibakar. Di sisi lain industri daur ulang Australia sedang berjuang untuk menangani 1,3 juta ton tumpukan limbah yang dapat didaur ulang, yang sebelumnya telah di ekspor ke Tiongkok, kini tidak dapat bergantung pada ekspor sampah ke Tiongkok sehingga sebagai solusinya negara-negara tersebut mencari lokasi lain untuk menampung sampah mereka. Sebagaimana pada data yang dilaporkan oleh Greenpeace, bahwa terjadi penurunan ekspor limbah khususnya limbah plastik ke negara Tiongkok.

Dengan adanya kebijakan terkait pembatasan secara ketat mengenai impor sampah plastik tersebut tentu akan memberikan dampak positif terhadap kelestarian lingkungan. Dimana kebijakan tersebut tentu akan mengurangi penggunaan sampah plastik. Menurut saya sebaiknya Indonesia perlu mengantisipasi dampak dari kebijakan National Sword dari Pemerintah Tiongkok yang membatasi secara ketat impor sampah plastik. Indonesia juga perlu melarang penggunaan bahan-bahan B3 sebagai aditif plastik dan saat mendaur ulang plastik. Karena Indonesia yang merupakan negara dengan jumlah penduduk yang dapat dikatakan tinggi dan padat, tentu akan menghasilkan banyak sampah plastik. Indonesia yang merupakan salah satu negara berkembang pada kenyataannya masih melakukan kegiatan impor dari berbagai negara. Kegiatan impor tersebut menunjukkan bahwa Indonesia masih mengalami defisiensi (kekurangan/kegagalan) dalam menyelenggarakan produksi barang dan jasa bagi kebutuhan konsumsi penduduknya. Sebenarnya permasalah yang disebabkan oleh kegiatan impor tersebut telah terjadi di Indonesia sejak beberapa tahun belakangan, tetapi pemerintah masih belum mementingkannya dan justru belum mengambil tindakan yang tegas. Padahal jika dibiarkan secara terus menerus akan menjadi sebuah bom waktu yang dapat meledak kapan saja. Maka dari itu, sebaiknya pemerintah Indonesia mencoba mengikuti langkah yang telah diambil oleh Tiongkok dalam meminimalisir sampah plastik yang dihasilkan dari kegiatan impor.

Source:

Isyirin, Mei. Analisis Dampak Impor Sampah Plastik Terhadap Masyarakat dan Lingkungan Hidup di Indonesia. Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya. https://www.researchgate.net/publication/339603074_ANALISIS_DAMPAK_IMPOR_SAMPAH_PLASTIK_TERHADAP_MASYARAKAT_DAN_LINGKUNGAN_HIDUP_DI_INDONESIA

Paramita, Siska Dewi. 2021. Analisis Dampak Kebijakan National Sword Tiongkok Terhadap Lingkungan Hidup di Indonesia Melalui Perspektif Green Theory. Fakultas Komunikasi dan Diploma. Progam Studi Hubungan Internasional. Universitas Pertamina. https://library.universitaspertamina.ac.id/xmlui/bitstream/handle/123456789/3864/LAPORAN%20TUGAS%20AKHIR_SISKA%20DEWI%20PARAMITHA_106217065.pdf?sequence=1&isAllowed=y

Sign up to discover human stories that deepen your understanding of the world.

Free

Distraction-free reading. No ads.

Organize your knowledge with lists and highlights.

Tell your story. Find your audience.

Membership

Read member-only stories

Support writers you read most

Earn money for your writing

Listen to audio narrations

Read offline with the Medium app

Diplomacy Studies UPNVY
Diplomacy Studies UPNVY

Written by Diplomacy Studies UPNVY

Giving information and knowledge. L’art de la Negociation. Viva Diplomacy!

No responses yet

Write a response