Harga Mahal Demokrasi

Diplomacy Studies UPNVY
3 min readOct 28, 2024

Penulis : M. Faris Helmi

“Kekuasaan yang mutlak oleh rakyat” merupakan arti demokrasi secara harafiah. Sistem pemerintahan ini mengedepankan kepentingan rakyat suatu negara dengan memberi ruang yang bebas kepada rakyat untuk ikut andil dalam pengambilan keputusan suatu negara. Seperti yang dijelaskan oleh Abraham Lincoln pada tahun 1863 tentang demokrasi: Government of the people, by the people, and for the people. Sistem ini dianut banyak negara agar kebutuhan setiap kelompok masyarakat suatu negara dapat dipenuhi oleh pemerintah.

Salah satu bentuk keikutsertaan masyarakat dalam mengambil keputusan suatu negara adalah dengan melakukan demonstrasi. Dalam UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyamapaikan Pendapat di Muka Umum, dijelaskan arti demonstrasi, yaitu mengeluarkan isi pikiran denngan lisan, tulisan, atau media lainnya secara demonstratif di muka umum. Demonstrasi adalah gambaran bahwa demokrasi suatu negara masih dipertahankan dan bentuk kepedulian rakyat terhadap negaranya. Dalam pelaksanaannya, demonstrasi biasanya dihadiri dan dilakukan oleh sekelompok masyarakat yang merasa suaranya patut didengar oleh pemerintah. Massa yang datang untuk melakukan demonstrasi pun beragam, mulai dari puluhan hingga jutaan demonstran.

Demonstrasi yang baik seharusnya dilakukan dengan berkumpul di tempat umum, menyuarakan pendapat, dihadiri polisi atau aparat yang berfungsi untuk menjaga kondusifitas demonstrasi. Namun disayangkan, pada banyak kasus demonstrasi malah memakan korban. Mulai dari luka ringan, kerugian harta, hingga korban nyawa. Seperti yang terjadi bulan Juli-Agustus 2024 di Bangladesh. Bermula dari aksi demo mahasiswa atas kebijakan kuota PNS yang dirasa tidak adil, kekerasan yang dilakukan aparat setempat terhadap demonstran, dan semakin parah ketika Perdana Mentri Bangladesh, Sheikh Hasina menggunakan diksi yang merujuk pada “pemberontak” atau “teroris” kepada demonstran. Aksi yang mereda setelah pemgunduran diri Sheikh Hasina ini memakan banyak korban. Lebih dari 300 nyawa melayang dalam aksi yang terjadi beberapa minggu tersebut. Aksi juga dikotori dengan penjarahan toko-toko, pembakaran gedung-gedung, gas air mata oleh aparat yang membutakan beberapa mahasiswa di Bangladesh.

Tidak hanya di Bangladesh, di Indonesia juga beberapa kali terjadi aksi demonstrasi yang memakan korban. Kejadian 1998 menjadi bukti bahwa harga demokrasi di Indonesia sangat mahal. Pada tahun 2008 terbit sebuah buletin berjudul “Wacana HAM: Berkisah Dengan Hati Nurani” oleh Subkomisi Pendidikan dan penyuluhan Komnas HAM yang mana, dalam
tulisan tersebut dijelaskan jumlah korban dari rangkaian kejadian pada tahun 1998. Tersirat, lebih dari 2000 korban dalam rangkaian kejadian tahun 1998, yaitu penculikan aktivis 1998, kasus Semanggi, kerusuhan Mei 1998, penembakan Mahasiswa Trisakti, dan lain-nya yang tidak tercatat. Penjarahan dan perusakan fasilitas umum juga secara massive terjadi pada
tahun 1998 yang merugikan ratusan juta rupiah, menggambarkan bahwa selain aparatur negara, ada juga oknum-oknum tidak bertanggung jawab yang mengisi kegiatan demokratis dengan kegiatan yang merugikan dan mencemari istilah demonstrasi.

Melihat apa yang terjadi pada tahun 1998, seharusnya kegiatan demonstrasi diadakan dan dijaga lebih baik. Namun pada kenyataannya, pada tahun 2019, lima puluh dua nyawa harus dibayarkan untuk mendirikan demokrasi. Demonstrasi tentang penundaan RKUHP dan
pelemahan KPK disambut oleh banyak gas air mata, semprotan air pemadam, dan bahkan tembakan senjata oleh aparatur. Banyak titik dimana kerusuhan terjadi antara demonstran
dengan polisi.

Banyak aksi demonstrasi yang berakhir rusuh dikarenakan bentrok antara demonstran dengan polisi. Maka pertanyaan yang muncul adalah: bagaimana demonstrasi yang ideal? Bagaimana fungsi polisi negara dalam kegiatan demonstrasi? Dalam UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, dijelaskan beberapa ketentuan dan aturan demonstrasi. Diantaranya adalah adanya penganggung jawab, sesuai waktu yang ditentukan (06.00–18.00), larangan berdemo di lingkungan istana negara, larangan membawa barang yang membahayakan diri dan orang lain dan beberapa ketentuan lainnya dari beberapa pasal yang ada. Adapun fungsi polisi dalam kegiatan demonstrasi, adalah sebagaimana fungsi polisi sebagai bagian dari elemen negara, yaitu memelihara keamanan, ketertiban, dan perlindungan. Tidak seharusnya polisi melakukan tindakan lain yang melukai atau merugikan
demonstran dalam bentuk apapun.

Pada akhirnya, setiap pihak memiliki fungsinya masing-masing. Polisi sebagai penjaga ketertiban dan demonstran sebagai pelaku demokrasi. Demokrasi memang sebuah sistem yang harus dipertahankan. Namun melihat beberapa kejadian aksi dalam menegakan sistem ini, kita semua berharap agar tidak ada lagi harga semahal nyawa untuk mempertahankan
demokrasi.

Sign up to discover human stories that deepen your understanding of the world.

Free

Distraction-free reading. No ads.

Organize your knowledge with lists and highlights.

Tell your story. Find your audience.

Membership

Read member-only stories

Support writers you read most

Earn money for your writing

Listen to audio narrations

Read offline with the Medium app

Diplomacy Studies UPNVY
Diplomacy Studies UPNVY

Written by Diplomacy Studies UPNVY

Giving information and knowledge. L’art de la Negociation. Viva Diplomacy!

No responses yet

Write a response