From Ice to Intimidation : How Russia Wields Coercive Diplomacy in the Arctic?
Penulis: Dechika Anjeli Lubis

Dibalik lapisan es yang memukau serta keindahan alamnya, arktik menjadi wilayah yang menyimpan persaingan sengit untuk negara- negara di sekitarnya. Wilayah kutub utara ini memegang kunci jalur pelayaran, cadangan energi hingga peluang ekonomi sehingga daerah yang berabad- abad ini telah terisolasi kini menjadi daya tarik dari perebutan global. Di tengah ketegangan geopolitik antar aktor, Rusia yang menjadi salah satu negara yang begitu aktif terlibat, berusaha menciptakan eksistensinya dengan defensif demi memperkuat posisinya di kawasan ini. Berbagai cara turut dilakukan Rusia salah satunya dengan langkah Diplomasi Koersif untuk mempertahankan dominasinya di wilayah Arktik.
Rusia merupakan negara dengan batas wilayah terpanjang di Arktik, dimana hampir sekitar seperlima daratan rusia berada di utara lingkaran arktik. Hal ini membuat Rusia turut menciptakan agendanya sendiri untuk memanfaatkan wilayah Arktik. Kebijakan Rusia di Arktik dimulai pada tahun 1989, dimana kala itu segala agenda eksplorasi maupun pengembangan masih berada dalam agenda utama uni soviet, namun kala Uni Soviet telah jatuh, maka arktik kurang diperhatikan oleh Rusia. Rusia pernah melakukan klaim ke UNCLOS (Cameron, 2020). Namun klaim tersebut ditolak oleh UNCLOS. Hingga di tahun 2007, Rusia kembali menjadikan Arktik ke dalam agenda besarnya dengan melakukan ekspedisi dan menancapkan benderanya di dasar Laut Samudra Arktik (Buchanan, 2023). Lalu pada tahun 2008, Rusia pun mengadopsi kebijakan untuk samudra arktik dengan nama “Fundamentals of State Policy of
the Russian Federation Policy in the Arctic in the period up to 2020 and Beyond” . Kebijakan tersebut merupakan salah satu kebijakan luar negeri Rusia yang berfokus pada satu wilayah untuk mencapai kepentingan nasionalnya (Foundations of the Russian Federation State Policy in the Arctic for the Period up to 2035, n.d.).
Pada masa uni soviet, pemerintah merelokasi jutaan orang melalui kerja paksa dan insentif ekonomi untuk bekerja Arktik, demi memperkuat kapabilitas industri serta infrastruktur di kawasan tersebut. Setelah melakukan adopsi kebijakan setelah berakhirnya era Uni Soviet, Rusia juga membuat strateginya menuju tahun 2035 untuk mengembangka prioritasnya terhadap kawasan Arktik demi mengatasi tantangan kepadatan penduduk yang rendah, perubahan iklim, pengelolaan rute laut, ketimpangan infrastruktur dan potensi konflik di kawasan tersebut.
Keterlibatan Rusia di kawasan Arktik yang sebagai upaya untuk membentuk identitas geopolitiknya di wilayah tersebut, namun juga menjadi salah satu landasan bagi strategi diplomasi koersif yang diterapkan Rusia sampai saat ini. Rusia begitu aktif menggunakan klaim sejarahnya beserta dengan pengaruh geografisnya. Rusia menjadi semakin intensif menyatukan kekuatan militernya dengan tekanan diplomatiknya untuk menambah kekuatan dominasinya di kawasan Arktik, dan melebihi sekedar usaha pengamanan perbatasan maupun eksplorasi sumber daya.
Diplomasi koersif merupakan salah satu praktik yang paling menarik dan cukup umum dilakukan dalam hubungan antar negara. Sun Tzu seorang ahli strategi Tiongkok di abad VI-V sebelum masehi memberi pemaknaan pada diplomasi koersif sebagai upaya untuk membuat musuh menghentikan atau membatalkan suatu tindakan tanpa menggunakan tindakan militer, namun dengan mengeluarkan tuntutan khusus yang didukung oleh ancaman hukuman jika tidak memenuhinya (Schettino, 2009). Sehingga suatu negara bisa saja memaksa musuhnya dengan mengancam konsekuensi politik seperti pengeluaran dari organisasi internasional, sanksi ekonomi ataupun penggunaan kekuatan lainnya.
Thomas Schelling, seorang ahli ekonom Amerika Serikat memberikan pemahamannya mengenai konsep diplomasi koersif. Menurut asumsinya, negara — negara besar berusaha memaksa lawan mereka untuk menghormati kepentingannya tanpa menimbulkan potensi konflik bersenjata. Seperti contoh, Amerika Serikat dan Uni Soviet yang mengalami perang dingin selama beberapa dekade. Dan dilanjutkan dengan status quo antara Amerika Serikat dan Rusia hingga saat ini. Persaingan dua kekuatan besar ini berusaha dijaga stabilitasnya untuk menghindari konflik besar antara keduanya. Sehingga menurut Schelling, terdapat lima konsep diplomasi koersif, diantaranya adalah ;
1. Ancaman yang disampaikan harus cukup untuk meyakinkan musuh bahwa resiko yang harus ditanggung apabila tidak memenuhi tuntutan akan sangat besar.
2. Ancaman tersebut harus dipercaya oleh musuh
3. Musuh harus memiliki waktu untuk mematuhi demand dari si pemaksa
4. Kedua pihak harus mempunyai tingkat kepercayaan minimal untuk percaya bahwa kepatuhan tidak akan menimbulkan banyak tuntutan
5. Konflik tidak boleh dilihat sebagai konflik yang hanya menguntungkan satu pihak saja.
Konsep inilah yang diterapkan oleh Rusia kepada Amerika Serikat di Arktik dengan menggunakan beberapa forum demi mendeklarasikan kerja sama internasional dengan semua mitra salah satunya Amerika Serikat. Lewat kerja sama ini, Rusia telah mempromosikan Arktik sebagai zona kerjasama internasional, sehingga ancaman bisa saja terjadi sewaktu waktu apabila kerja sama diabaikan. Dalam kerjasama ini pula Rusia berusaha untuk memperlihatkan bahwa dirinya merupakan kekuatan yang begitu penting di kawasan tersebut, sehingga Amerika Serikat harus mematuhi kerjasama yang sudah ada untuk menghindari ‘resiko yang harus dibayar’.
Rusia diposisikan oleh Amerika Serikat sebagai salah satu kekuatan revisionis yang akan menimbulkan tantangan besar bagi Amerika Serikat, namun hal tersebut tidak menghilangkan pandangan optimisme Amerika Serikat akan Rusia yang belum mampu menentang kekuatan hegemoni Amerika Serikat. atas hal tersebutlah Rusia berusaha memperlihatkan proyeksi kekuatannya bukanlah hal yang bisa diremehkan lewat kepemilikan banyak benteng militer dan ekonominya di Arktik. Strategi Rusia yang menyatakan bahwa kebijakannya di Arktik bertujuan untuk menjaga perdamaian, stabilitas dan kerjasama internasional serta menyelesaikan permasalahan regional. Pun begitu dengan Amerika Serikat yang menunjukan perlu adanya kerjasama multilateral demi mengatasi kepentingan dan tantangan bersama. Keduanya paham betul bahwasanya posisi masing-masing sama imbangnya sehingga untuk mempertahankan posisinya keduanya berusaha untuk tidak menambah eskalasi perselisihan yang sudah ada. Sehingga keduanya secara resmi menyatakan bahwa keduanya memiliki kepercayaan satu sama lain dan memandang bahwa hubungan internasional di kawasan Arktik adalah hubungan yang dapat saling menguntungkan bila mampu dijaga bersama (Jordan et al., 2021).
Diplomasi Koersif Rusia terhadap Amerika Serikat yang diterapkan di kawasan Arktik memang meningkatkan kekhawatiran Amerika Serikat tentang potensi kekuatan Rusia di wilayah tersebut, namun hal itulah yang akhirnya membuka peluang kerjasama diantara keduanya dengan kepentingannya masing-masing. Meskipun begitu ketegangan tetap terjadi diantara keduanya, dengan sama-sama meningkatkan militerisasi di wilayah tersebut, namun diharapkan keduanya bisa menjaga perilaku yang lebih kooperatif untuk memaksimalkan penggunaan di kawasan tersebut, mengingat kawasan tersebut bukanlah hanya tentang kepentingan dua kekuatan global ini saja dan forum arktik bukanlah media persaingan di antara elit superpower ini.
Referensi :
Buchanan, E. (2023, May 4). Russia’s Gains in the Great Arctic Race. War on the Rocks. Retrieved October 3, 2024, from https://warontherocks.com/2023/05/russias-gains-in-the-great-arctic- race/
Cameron, K. (2020, May 6). Examining the Russian Federations claim to extend their Exclusive Economic Zone within the Arctic. Jackson School of International Studies. Retrieved October 3, 2024, from https://jsis.washington.edu/news/examining-the-russian-federations- claim-to-extend-their-exclusive-economic-zone-within-the-arctic/
Foundations of the Russian Federation State Policy in the Arctic for the Period up to 2035. (n.d.). U.S. Naval War College Digital Commons.
Retrieved October 3, 2024, from
https://digital-commons.usnwc.edu/rmsi_research/5/
Jordan, J., Bykova, A., Houck, O. W., & Lalonde, J. (2021, July 6). Russia’s Coercive Diplomacy in the Arctic. The Arctic Institute. Retrieved October 31, 2024, from
https://www.thearcticinstitute.org/russia-coercive-diplomacy-arctic/ Schettino, I. (2009, June 29). Is Coercive Diplomacy a Viable Means to
Achieve Political Objectives? E-International Relations. Retrieved October 12, 2024, from
https://www.e-ir.info/2009/06/29/is-coercive-diplomacy-a-viable-mea ns-to-achieve-political-objectives/